Kamis, 13 Maret 2008

Mendongeng

Membangun Kreativitas Berbahasa Anak
Melalui Cerita Boneka Tangan
(Oleh: Sulfi Alhamdi)
-Telah ditampilkan dalam seminar Nasional Bahasa da Sastra Indonesia XVI (HPBI)
di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
16-18 Mei 2008
Abstrak

Seorang anak yang dibesarkan di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia memiliki kendala dalam berbicara/berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Salah satu kendala tersebut adalah besarnya pengaruh penggunaan bahasa ibu tersebut terhadap kebiasaan dan kerangka berfikir mereka. Ketika seorang anak berada di lingkungan di mana ia harus berbahasa Indonesia (di sekolah), ide-ide kreatif mereka terhalang, karena berada dalam tekanan, bahwa apa yang diungkapannya harus berbahasa Indonesia yang bisa dimengerti oleh orang yang mendengarkannya pada saat itu. Dengan mendongeng dapat menciptakan suasana santai, sehingga anak bisa rileks dan menyatu dengan suasana yang tercipta ketika mendongeng sedang berlangsung. Dan pada akhirnya memunculkan kreativitas mereka dalam berbahasa yang bertujuan untuk mengungkapkan ide-ide kreativitas itu sendiri.
Pendahuluan

Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Bahasa adalah alat komunikasi. Menurut Ricard (dalam Tarigan 1990 : 13) mengatakan bahwa komunikasi adalah pertukaran ide-ide, gagasan-gagasan, informasi dan sebagainya antara dua orang atau lebih. Ketika komunikasi itu berlangsung dalam satu komunitas bahasa tertentu maka proses penyampaian ide-ide tersebut tidak akan mengalami banyak masalah, begitu juga pada anak usia dini. Akan tetapi ketika mereka berbicara dengan bahasa Indonesia, terutama pada situasi formal di dalam kelas, mereka akan menemui kendala. Kendala tersebut tidak lain adalah penggabungan ide-ide tersebut dengan bahasa yang akan digunakan. Kita harus ingat dan tidak perlu malu bahwa buat sebagian besar rakyat kita, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua (Tarigan 1988 : 127).
Kemampuan berkomunikasi, berbicara dan berbahasa dapat diperoleh dimana saja dan kapan saja. Mulai dari lingkungan keluarga kecil, keluarga besar, lingkungan sekitar tempat tinggal, dan sekolah. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa buat berkomunikasi. Hasil atau akibat pemerolehan bahasa, kompetensi yang diperoleh, juga merupakan bawah sadar (Tarigan 1988 : 127). Untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi pada anak usia dini secara formal dapat diperoleh di sekolah. Sekolah taman kanak-kanak (TK) yang ada, terutama di kota Palembang menawarkan berbagai macam program pembelajaran yang mendukung kemampuan berkomunikasi tersebut. Salah satunya adalah mengadakan kelas mendongeng. Selain mengembangkan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi anak, mendongeng juga memiliki nilai hiburan terhadap anak. Banyak aspek pendidikan yang terdapat dalam mendongeng. Dongeng mengajarkan banyak hal selain itu tidak ada anak yang tidak suka mendengarkan dongeng.
Tidak ada anak yang tidak senang mendengarkan dongeng. Entah itu dongeng yang dibacakan dari buku atau dongeng yang telah sangat melekat di benak orangtua sehingga dapat disampaikan secara lisan dengan improvisasi di sana sini. Buktinya tokoh dalam dongeng akan selalu diingat oleh anak bahkan hingga mereka dewasa, baik yang baik maupun yang jahat. Ternyata dongeng memiliki banyak manfaat bagi anak. Sebut saja mengembangkan daya pikir dan imajinasi, kemampun berbicara, serta daya sosialisasi karena melalui dongeng anak dapat belajar mengakui kelebihan orang lain sehingga mereka menjadi lebih sportif (geodesy.gb.itb.ac.id : 2007).
Untuk mendongeng dibutukan kemampuan khusus bagi penyampainya. Dongeng lebih dikenal sebagai kegiatan yang dilakukan di rumah yang bertujuan untuk menidurkan anak, atau mengisi waktu senggang dalam keluarga. Menurut psikolog Bibiana Dyah Sucahyani (Electronical publishing,Batam Pos on line akses 16-04-2007, pukul 09.00) mengatakan bahwa di lingkungan keluarga mendongeng merupakan pola pendidikan yang paling ampuh dan efektif. Anak menjadi lebih mengerti apa yang boleh dilakukan dan yang tidak, apa yang baik dan apa yang tidak baik, tanpa harus dengan cara memarahi. Dari sebuah kegiatan keluarga (non formal) dongeng dibawa ke sekolah sebagai salah satu pelajaran dengan berbagai macam tujuan pembelajarannya. Salah satunya adalah untuk meninggkatkan kemampuan anak dalam berinteraksi komunikasi.
Dongeng yang menjadi pilihan dalam makalah ini adalah dongeng dengan menggunakan boneka tangan. Boneka tangan yang bisa berbentuk (menyerupai) berbagai macam tokoh (biasanya tokoh binatang). Mengapa memilih dongeng dengan boneka tangan? Menggunakan boneka tangan sebagai alat bantu akan membuat suasana kelas lebih berkonsentrasi pada cerita yang akan disampaikan. Selain sebagai alat bantu cerita, boneka juga bisa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi langsung dengan anak. Boneka bisa mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara langsung yang muncul dari anak. Interaksi komunikasi dengan anak bisa tercipta sehingga ide-ide kreatif dalam menggunakan bahasa mereka dapat disalurkan. Selain itu dengan boneka tangan, bahasa yang digunakan akan mempengaruhi cara anak dalam menanggapi pertanyaan atau dalam memberikan pertanyaan. Yang lebih penting lagi, mereka bisa berkomunikasi langsung menuangkan ide yang disesuaikan dengan topik cerita.
Selain itu, menggunakan boneka tangan, ide cerita yang akan disampaikan akan sangat bervariasi. Si pendongeng/pencerita tidak harus menceritakan cerita-cerita legenda atau seperti dongeng pada umumnya, akan tetapi bisa mengangkat ide yang ada dalam kehidupan keseharian anak-anak. Atau lebih tepat dikatakan bahwa dengan bercerita menggunakan boneka tangan, maka cerita yang akan disampaikan adalah cerita tentang keseharian yang dialami anak-anak.
Objek penelitian adalah di salah satu TK swasta yang ada di kota Palembang. Pelajaran mendongeng diberikan sebatas sebagai kegiatan kelas ekstra kurikuler. Dalam kelas mendongeng ini melibatkan satu orang pencerita dan beberapa orang anak (10-15 orang) yang tergabung dalam satu kelas. Anak-anak duduk di lantai dengan posisi membentuk setengah lingkaran yang menempatkan posisi pencerita di tengahnya. Suasana kelas akan terasa sangat rileks, ketika pelajaran mendongeng dimulai. Pada saat pertama kali kelas mendongeng diperkenalkan, biasanya mereka sangat antusias dan bersiap-siap dengan gerangan apa yang akan terjadi. Pada kelas mendongeng berikutnya, sebelum mendongeng, biasanya beberapa orang anak akan memberanikan diri untuk berkomunikasi dengan boneka tangan yang sudah terpasang. Kendala yang dihadapi seorang anak biasanya terletak pada penggabungan ide kreatif berbahasa dengan bahasa yang akan digunakan.

Pembahasan

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis yaitu suatu penelitian yang akan memaparkan data temuan dari sumber data yang ada dan kemudian dianalisis sesuai dengan landasan teori.
Palembang adalah salah satu daerah di Indonesia yang bahasa ibunya bukanlah bahasa Indonesia. Palembang menggunakan bahasa Melayu Palembang dalam bahasa keseharian. Pengaruh bahasa Melayu Palembang sangat lekat dalam tata cara kehidupan orang Palembang. Beberapa unsur teori belajar yang mendasari PBK (Pengajaran Bahasa Komunikatif) bisa ditemukan pada beberapa kegiatan pengajaran bahasa komunikatif (Azies et all 2000 : 24) Dongeng atau cerita boneka tangan adalah salah satu dari kegiatan tersebut yang mendukung interaksi komunikasi dalam memancing ide-ide kreatif pada anak usia dini.
Bahasa Melayu Palembang dan Bahasa Indonesia tidaklah terlalu jauh berbeda, seperti halnya bahasa-bahasa daerah rumpun Melayu lainnya. Akan tetapi tetap saja bahasa daerah tersebut mempengaruhi penggunaaan bahasa Indonesia apalagi dalam situasi formal seperti di sekolah data proses pembelajaran. Dengan mendongeng atau bercerita dengan menggunakan boneka tangan akan membantu anak dalam mengatasi masalah tersebut. Hipotesis Konstarastif yang dikembangkan oleh Charles Fries (1945) dan Robert Lado (1957) menyatakan bahwa
Kesalahan berbahasa yang dibuat dalam belajar B2 adalah karena adanya perbedaan B1 dan B2. Sedangkan kemudahan dalam belajar B2 disebabkan oleh adanya kesamaan antara B1 dan B2. Jadi adanya perbedaan antara B1 dan B2 akan menimbulkan kesulitan dalam belajar B2, yang mungkin juga akan menimbulkan kesalahan; sedangkan adanya persamaan antara B1 dan B2 menyebabkan terjadinya kemudahan dalam belajar B2.
Cerita boneka tangan disampaikan kepada anak dengan menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena bahasa Melayu hampir tidak jauh berbeda degan bahasa Indonesia, maka proses pembelajaran bahasa tidaklah terlalu sulit. Dua hal antara B1 dan B2 yang dikutip di atas bisa memberikan gambaran bahwa antar bahasa Melayu dan bahasa Indonesia bisa menjadi mudah dan menjadi hal yang menyulitkan anak dalam memahami kontek komunikasi formal ketika dongeng sedang berlangsung.
Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar; para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa buat berkomunikasi. Hasil atau akibat pemerolehan bahasa, kompetensi yang diperoleh, juga merupakan bawah sadar. Kita pada umumnya tidak menyadari benar-benar kaidah-kaidah bahasa-bahasa yang kita peroleh (Tarigan 1988 : 128). Bagaimana pun dalam penelitian ini data yang diamati adalah kalimat atau ucapan yang keluar dari anak, yang berhubungan dengan tema atau jalannya cerita.
Seorang pencerita sebaiknya juga memahami tentang ide cerita yang akan dibawakannya. Seorang pencerita harus memiliki skenario dari cerita tersebut. Untuk tercapainya sebuah interaksi komunikasi dengan anak, maka seorang pencerita harus memenuhi beberapa kriteria atau aspek penting dari bahasa.
Menurut Mar’at ada 3 Aspek Penting dari Fungsi Bahasa.
1. Speech Act.
Yang paling sering dijumpai adalah bentuk bertanya, pemberitahuan dan perintah. Peranan intonasi dan kontek pembicaraan mempunyai peranan penting dalam membantu pendegar menentukan fungsi yang dimaksud dalam suatu tuturan.
Seorang pencerita harus menguasai seni penceritaan dongeng. Harus mampu menguasai intonasi, menjaga kestabilan jalan cerita, dan sanggup berkomunikasi dengan anak ketika dalam bercerita.
2. Thematic Structure.
Adalah penilaian tentang keadaan mental pada saat seseorang berbicara. Seseorang pembicara harus mempunyai gambaran kira-kira tentang apa yang ada pada pikiran pendengarnya pada waktu itu. Yaitu pada waktu ia berbicara. Ia harus memperhatikan hal-hal apa saja yang telah diketahui oleh pendengar dan hal-hal apa saja yang belum.
Ketika menentukan satu topic cerita yang akan disampaikan, pencerita harus berupaya memahami penguasaaan kosakata yang ada pada anak. Bagaimana seorang pencerita bisa memakai kosakata lama/yang sudah dimengerti, dan memperkenalkan kosakata baru untuk mereka.
3. Propositional Content.
Karena pembicara ingin menyampaikan ide-ide tertentu kepada pendegar, maka kalimat yang dipilih harus pula merefleksikan jalan si pembicara mengenai objek, kejadian-kejadian dan fakta-fakta yang ada.
Menyederhanakan kalimat-kalimat untuk membantu anak memahami isi cerita adalah tugas seorang pencerita. Cerita yang dipilih pun idenya harus mengenai objek dan kejadian-kejadian dan fakta-fakta yang ada.
Ketika cerita akan dimulai dan sedang berlangsung, biasanya anak akan tetap fokus pada cerita yang akan disampaikan. Meskipun ada (banyak) di antara mereka yang kurang peduli. Akan tetapi mereka yang fokus pada cerita, akan memberikan reaksi baik dengan bahasa verbal maupun bahasa non-verval. Mereka mencoba memahami jalan cerita dengan ikut terlibat dalam cerita tersebut. Keterlibatan itu mereka tunjukan dengan menyela percakapan yang ada dalam cerita atau dengan menjawab pertanyaan pencerita, baik sebagai tokoh dalam cerita atau sebagai pencerita itu sendiri. Bahkan diantara mereka ada yang sengaja mengulang beberapa poin percakapan atau mengekspresikan dengan bahasa verbal dari prose cerita yang sedang belangsung. Proses kognitif yang terjadi pada waktu seseorang berbicara dan mendengarkan antara lain megingat apa yang baru didengar, mengenal kembali apa yang baru didengar itu sebagai kata-kata yang ada artinya, berfikir mengungkapkan apa yang telah tersimpan dalam ingatan dalam bentuk ujaran atau tulisan. (Mar’at 2005 : 1)
Mar’at menjabarkan proses kognitif yang terjadi pada saat seorang berbicara dan mendengarkan lawan bicaranya. Hal ini bisa dijabarkan pula ketika dongeng/cerita boneka sedang berlangsung.
1. Mengingat apa yang baru didengar.
Terkadang ada beberapa dari kosa kata yang diucapkan pencerita yang diulang kembali oleh anak sebagai ujud dari proses mengingat apa yang didengar. Mereka secara spontan mengungkapkan ide kreatif mereka.
Pre Test (tanpa boneka tangan)
Pencerita : “Kita harus rajin gosok…gigi. Siapa yang tahu bagaimana cara menggosok gigi?
Fajri, Salsa, Rio, Fajri : (mereka langsung menunjukan ekspresi bagaimana caranya menggosok gigi. Sambil mereka memahami arti gosok gigi dan menirukan mereka memperhatikan kawan-kawan yang lain untuk menyamakan ekspresi mereka.)
Test (dengan boneka tangan1)
Pencerita : (Rabbit) Teman-teman, aku kan belum pernah menggosok gigi, bagaimana ya caranya?
Fajri : Mak ini nah, Rabbit! (sambil memperagakan cara menggosok gigi)
Pencerita : Iya, Fajri Seperti apa? Seperti ini.
Salsa : (sambil memperagakan cara menggosok gigi)
Rio : Ya Rabbit, seperti ini, kamu bisa? (sambil memperagakan cara menggosok gigi)
Nita : (sambil memperagakan cara menggosok gigi)

Post test (dengan boneka tangan2)
Pencerita : (Rabbit) Aduh… gigiku sakit sekali. Aduh… tolong.
Fajri : Makanya jangan makan permen terus.
Salsa : Iya Rabbit, jangan makan permen.
Rio : Aku juga suka makan permen, tapi gigi ku tidak sakit.
Nita : Ya Rabbit, kamu harus rajin sikat gigi.

2. Mengenal kembali apa yang baru didengar.
Ketika pertama kali kelas mendongeng/bercerita dengan boneka, mereka belum mengenal apa pun tentang boneka tangan. Ketika mereka diberitahu bahwa nanti akan ada cerita boneka, yang ada dalam pikiran mereka adalah beberapa pertanyaan. Apa sih cerita boneka tangan itu? Seperti apakah cerita itu? Kali berikutnya mereka telah mempunyai pengalaman dengan cerita boneka tangan. Lalu mereka berlomba untuk mengenal kembali apa yang telah mereka alami.
Pre Test (tanpa boneka tangan).
Pencerita : (Saat bercerita, anak-anak ada memperhatikan dan ada yang tidak peduli)
Fajri, Salsa, Rio, Nita : (hanya mendengarkan, sambil senyum, dan tertawa).
Test (dengan boneka tangan1).
Pencerita : (Saat mempersiapkan boneka, dan sebelum boneka disarungkan)
Fajri : Apo itu pak sulfi, Boneka yo?
Pencerita : Apa sayang, ya ini boneka kelinci, ini boneka beruang
Rio : Hey jingok itu, ado gambar wortelnyo (gambar wortel dibaju boneka kelinci).
Post test (dengan boneka tangan2).
Pencerita : Anak anak, apa warna si Rabbit?
Fajri : Pink, ada gambar wortel juga.
Salsa : Sama dengan boneka aku dirumah
Rio : Kalau Teddy warnya coklat

3. Berpikir mengungkapkan apa yang telah tersimpan dalam ingatan dalam bentuk ujaran.
Ketika mereka melihat/memperhatikan kedua boneka tangan, mereka mencoba memahai sesuatu terhadapnya. Ada beberapa hal yang mereka rasakan dan mereka mulai berpikir untuk mengungkapkan apa yang telah tersimpan dalam ingatan mereka.
Pre Test (tanpa boneka tangan)
Bercerita tanpa boneka tangan dilakukan pada saat pertama. Ketika itu belum ada reaksi yang diberikan anak.
Test (dengan boneka tangan 1).
Nita : eh, hidungnya lucu ya.
Rio : Rabbit, kamu bawa permen? Aku mau, dong!
Fajri : Kamu galak makan permen yo?
Post test (dengan boneka tangan2).
Rio : Halo Pak Sulfi apa kabar?, (pencerita),Halo Rabbit (boneka kelinci berwarna pink), Halo Teddy (boneka beruang berwarna coklat).
Fajri : Kok bonekanyo itu-itu terus ya
Pencerita : Iya nih, Pak Sulfi kan Cuma punya ini.

Dongeng/cerita boneka tangan akan memberikan kemudahan kepada anak dalam mempelajari bahasa sebagai bahasa komunikasi dalam menuangkan ide-ide kreatif mereka. Menurut Bilbiana dengan dongeng anak bisa mencerna lebih gampang keadaan yang terjadi disekitarnya dan bagaimana menyikapinya (Batam Pos on line). Dongeng/cerita boneka tangan bisa juga mengajarkan anak tanggap menghadapi situasi sesuai dengan topik cerita yang sedang berlangsung. Mereka kembali mengungkapkan ide kreatif mereka ketika mereka menginginkannya.
Pencerita : (Teddy) hey Rabbit, kamu kenapa? Gatal ya? Pasti kamu belum
mandi.
(Rabbit) iya, aku….
Nita : Iya, nanti badannya bau. i… (sambil menunjukan ekspresi bau)
Rio : aku idak bauk.(sambil mencium baju di bawah dagu)
Siapa pun di dunia ini membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi. Manusia tidak lepas dari bahasa dalam kehidupannya. Segala aspek kehidupan berakar dari bahasa. Dengan bahasa kita bisa melakukan segala hal. Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi. Sedangkan berbahasa adalah proses penyampaian informasi dalam berkomunikasi (Chaer 2003 : 30). Dalam mendongeng/cerita boneka tangan yang bertujuan untuk membantu anak dalam berinteraksi komunikasi guna memacu ide-ide kreatif mereka dalam berbahasa. Cara ini dianggap memenuhi lima fungsi dasar bahasa yang dirumuskan oleh Kinneavy (Chaer 2003 : 33)
Ke lima fungsi dasar tersebut adalah :
(diamati ketika memberikan post test (cerita boneka 2))
Fungsi ekspresi. Pernyataan senang, benci, kagum, marah, jengkel, sedih.
Dengan mendongeng/cerita boneka, baik pencerita maupun pendengar dapat mengungkapkan pernyataan senang,, benci, kagum dll.pencerita bisa memberikan pertanyaan agar anak menjawab atau bisa memancing anak untuk bertanya, sehingga ketika bertanyapun anak bisa mengekpresikan rasa kagum, senang, benci dan sedih.
Pencerita : Teman-teman, aku punya permen dan coklat, nanti kamu akan
saya kasih, mau ya?
Fajri : Mau. Aku mau. Tapi nanti gigiku sakit.
Pencerita : Siapa yang tiap hari selalu mandi?
Salsa : Saya.
Nita : saya mandi pakai sampo.
Fungsi Informasi. Menyampaikan pesan atau amanat kepada orang lain.
Dalam kelas mendongeng, baik pencerita ataupun si pendengar dapat menyampaikan pesannya kepada orang lain. Pesan tersebut adalah pesan-pesan yang biasanya mereka sudah pernah mendengarnya. Akan tetapi pada saat itu, kalimat tersebut muncul kembali karena adanya stimulus.
Pencerita : Teman-taman, kita tidak boleh terlalu banyak makan permen,
nanti gigi kita sakit.
Rio : Ya, nanti gigi kita sakit.
Fajri : Nanti aku gosok gigi,
Nita : Gigi Adi ada hitamnya
Fungsi Ekplorasi. Menjelaskan sesuatu hal, perkara dan keadaan.
Anak-anak yang kreatif pun mempunyai kesempatan untuk menjelaskan sesuatu. Ketika ia mengetahui sesuatu maka memalului stimulus, ia pun akan mencoba melakukan sesuatu untuk menjelaskan idenya.
Fajri : Rabbit warnanya pink!
Nita, Rio : Teddy warnanya coklat.
Pencerita : Kalau pak Sulfi warna bajunya apa?
Semua anak : Biru.

Fungsi Persuasi. Fungsi bahasa yang bersifat mempengaruhi atau mengajak orang lain untuk melalkukan atau tidak melakukan sesuatu secara baik-baik.
Pada tahap selanjutnya anak akan berusaha mengajak atau mendominasi temannya dengan kemauan dan keinginannya. Bahkan sering kali tejadi adu mulut diantara mereka untuk mempertahankan pendapatnya.
Pencerita : Teman-teman, rabbit tidak tahu cara menggosok gigi. Ada yang
tahu cara menggosok gigi?
Semua Anak : i..i (sambil menunjukan cara menyikat gigi dengan gerakan kiri
dan kanan.)
Pencerita : Kalau gigi depan, kita mesti mengosok seperti ini! (sambil
mempergakan gerakan atas bawah)
Semua anak : Ini i..i.. (sambil menirukan gerakan dari pencerita, dan
Saling memperlihatkan kepada temannya.)

Fungsi Entertain. Fungsi untuk menghibur.
Dalam percakapan sehari-hari antara pendengar dan pembicara pun terjadi kelucuan-kelucuan, entah itu dari bahasanya atau ekspresi dan gerak tubuh. Maka dalam mendongeng fungsi menghibur adalah unsur yang mutlak. Seorang pendongeng harus dapat menjalankan fungsi itu dengan baik.
Pencerita : Teman-teman, aku mau bernyanyi. Dengar ya. Bangun tidur
kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis itu ku tidur
lagi…
Fajri : hu…hu… bukan begitu Teddy. Aku bisa.

Penutup.

Banyak hal positif yang dapat kita sampaikan kepada anak dengan cara mendongeng/cerita boneka. Tidak hanya memancing mereka untuk berinteraksi komunikasi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai yang lain. Berawal dari sebuah cerita pengantar tidur, kemudian menjadi kegiatan di waktu senggang, saat ini dongeng/cerita boneka telah menjadi sebuah kegiatan pengajaran di sekolah. Semoga dengan program ini, anak tidak hanya menjadi lawan bicara pencerita, tetapi juga diharapkan bisa sebagai pencerita, dan bisa menciptakan cerita dengan bahasa mereka sebagai wujud suksesnya penumpahan ide kreatif mereka dalam berkomunikasi.

Daftar Pustaka

Akbar-Hawadi, Reni. 2004. Psikologi Perkembangan Anak. Mengenal Sifat, Bakat dan Kemampuan Anak. Jakarta. PT. Grasindo.

Azies, Furqanul dan A Chaedar Alwasilah. 2000. Pengajaran Bahasa Komunikatif. Teori dan Praktek. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Batam. 2007. Mendidik Anak Melalui Dongeng. (artikel) Batam. Batam Pos On line.

Bunanta, Murti. 2003. Anak dan Minat Budaya. Dimanakah Usaha dan Tanggung Jawab Kita? (Makalah Konggres Kebudayaan V, di Bukittinggi.)

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik. Kajian Teoretik. Jakarta. Rineka Cipta.

Mar’at. Samsunuwiyati. 2005. Psokolinguistik. Suatu Pengantar. Bandung. Refika Aditama.

Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung. Angkasa.

_______. 1990. Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung. Angkasa.

Senin, 10 Maret 2008

Bahasa dan Anak Autis

Pemerolehan Bahasa melalui Pelajaran Bernyanyi ;
(Studi Kasus di Sekolah Khusus Autisme; Bina Autis Mandiri Palembang)
(TELAH DISAMPAIKAN PADA SEMINAR HPBI 2006)
Abstrak

Salah satu pelajaran/terapi yang diberikan untuk anak-anak penderita autis adalah pelajaran bernyanyi dan musik. Pelajaran ini merupakan bagian dari kurikulum muatan lokal, selain metode dan kurikulum lain yang diberikan pada anak-anak autis di sekolah Bina Autis Mandiri Palembang. Pelajaran bernyani diharapkan dapat memberikan rangsangan terhadap anak-anak penderita autis baik rangsangan kognitif dan psikomotor terutama rangsangan pada alat ucap mereka yang memiliki masalah. Pelajaran bernyanyi diharapkan juga dapat membantu pengembangan kosa kata yang berhubungan dengan pemerolehan bahasa anak-anak penderita autis.
1. Pendahuluan.
Terapi bernyanyi dan musik adalah termasuk program yang diberikan bagi anak-anak penderita autis. Terapi bernyanyi dan musik ini merupakan bagian dari kurikulum muatan lokal selain dengan mengunakan metode yang diterapkan seperti ABA/LOVAAS. Salah satu metode pengajaran untuk anak penderita autis adalah metode ABA (Applied Behavior Analysis) atau metode Lovaas. Kebanyakan klinik-klinik yang ada di Indonesia menggunakan metode ini. Dianggap lebih tepat karena metodenya sangat terstruktur. Materi yang akan diajarkan telah tersedia (Handojo, 2006:7)
Pelajaran bernyanyi merupakan salah satu pelajaran yang diberikan kepada anak-anak penderita autis di samping pelajaran-pelajaran lainnya. Berbeda dengan pelajaran lain yang diberikan dengan metode ABA, satu murid dipegang oleh satu orang atau dua orang guru, pelajaran bernyanyi adalah kelas di mana murid-murid dikumpulkan dan didampingi oleh gurunya masing-masing. Ini berarti dalam memberikan pelajaran bernyanyi adalah pelajaran yang bersifat umum. Selain benyanyi, mereka juga akan terlatih untuk bersosialisasi dengan lingkungan dan teman-teman sesama penderita autis yang lain dan juga akan menambah keberanian mereka dalam berekspresi.
Pelajaran bernyanyi diharapkan akan mampu memberikan rangsangan terhadap anak-anak penderita autis, baik rangsangan kognitif atau psikomotorik. Terutama ransangan alat ucap yang memang memiliki masalah.
Dengan bernyanyi, murid dan guru diharapkan bisa sebagai menyatu dan lebih relaks dan diharapkan bisa sebagai pengganti prompt (cara memberikan terapi verbal) dalam proses pembelajaran.
2. Memberikan Pelajaran Bernyanyi pada Anak-anak Penderita Autis

Pelajaran bernyanyi diharapkan membantu pengembangan kosa kata yang berhubungan dengan pemerolehan bahasa terhadap mereka. Hal yang perlu dikaji terhadap perkembangan anak-anak penderita autisme salah satunya adalah bahasa dan komunikasi (Handojo, 2006:13).
Anak-anak penderita autis sangat berbeda dengan anak-anak normal, mereka akan membutuhkan waktu yang lama dan durasi waktu yang panjang dan harus berkesinambungan. Pendidikan untuk anak-anak penderita autis membutuhkan perhatian yang penuh. Program terapi anak ini bukan suatu program yang singkat . Waktu yang dibutuhkan cukup lama, yaitu lebih kurang 2-3 tahun (Handojo, 2006:8).
Anak belajar lebih baik melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah (Depdiknas, 2003:1). Mereka akan digabungkan menjadi kelas yang besar di mana di dalam kelas tersebut terdapar 10 – 15 orang anak. Mengembangkan metode pelajaran bernyanyi ini adalah mencoba memahami bahwa dengan kegiatan bernyanyi tersebut daya tarik anak akan bertambah dan akan menimbulkan rangsangan untuk mengeluarkan ujaran-ujaran atau kosa kata bahkan mungkin sebuah kalimat. Manusia mempunyai kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal yang baru. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting (Depdiknas, 2003:14).
Musik dapat dipergunakan sepanjang hari untuk menyatukan kegiatan pembelajaran. bernyanyi, menggerakkan badan, bertepuk tangan, menari, dan memainkan alat-alat musik, atau menyimak dengan tenang kesemuanya dapat diberikan sebagai kegiatan pembelajaran sepanjang hari. Musik mengembangkan pancaindra, mengajarkan ritme, berhitung dengan pola kalimat, memperkuat otot halus dan kasar, dan mendorong kreatifitas (Teamwork, 2000:9).
Sebagai pedoman materi lagu yang dipilih adalah lagu-lagu sederhana yang mudah untuk dipahami oleh anak normal. Kemudian dengan menambahkan gerak dan ekspresi lainnya akan digabungkan menjadi satu kemasan yang menarik.
Anak-anak merasakan kebahagian ketika mereka bergoyang, menari, bertepuk, dan beryanyi bersama seseorang yang mereka percayai dan cintai. Bahkan sementara mereka merasa senang dan terhibur, musik membantu pembentukan perkembangan mental, emosi, serta keterampilan sosial dan fisik mereka selain memberi mereka kegairahan dan keterampilan yang mereka perlukan untuk mulai belajar secara mandiri (Campbell, 2003:10).
Bernyanyi dapat membantu dan merangsang serta memancing respon anak normal atau anak-anak penderita autis. Kata-kata dalam lagu tersebut akan dapat membantu mereka untuk melatih alat ucapnya sehingga mereka menghasilkan bunyi yang berupa kata-kata atau bahkan kalimat.
Untuk menambah daya tarik anak terhadap lagu-lagu tersebut akan sangat menarik apabila dibantu dengan ekspresi-ekspresi yang menunjang makna dari kata-kata dalam lagu tersebut. Ia dapat bermain dengan kata-kata dan bunyi-bunyian lain, mengembangkan keterampilan linguistiknya secara menyenangkan secara alami (Campbell, 2003:130). Dengan memberikan kegiatan tersebut secara berkesinambungan akan mengantarkan mereka kepada pengalaman yang dapat membantu mereka sebagai salah satu upaya penyembuhan. Dengan lagu-lagu yang diberikan sebagai materi pelajaran bernyanyi diharapkan akan membantu pemerolehan dan penambahan kosa kata mereka.
Disamping itu, anak akan merasa senang bila lagu tersebut dinyanyikan memakai gerakan yang sesuai dengan lirik lagu. Dan akan lebih menarik lagi bila nama anaknya disebutkan dalam lirik lagu tersebut (Putrakembara,2006:23). Beberapa cara dan teknik dapat dikembangkan dalam memberikan pelajaran bernyanyi sehingga rasa ketertarikan mereka bisa bertahan lama. Tanpa daya tarik yang dapat mencuri perhatian mereka, akan sangat sulit mempertahankan perhatian mereka, sehingga tujuan kegiatan tidak tercapai secara maksimal.
Bernyanyi ataupun mendengar musik sangat membantu perkembangan anak, termasuk anak-anak penderita autis. Bernyanyi dan bermusik tidak harus sebagai pelajaran tetapi bisa juga dipakai dalam keseharian mereka diluar jam belajar/sekolah. Kegiatan ini dapat dilakukan di mana saja, di rumah, dalam perjalanan, saat bertamasya. Campbell (2003:4) selanjutnya mengatakan bahwa
Bahwa skor IQ meningkat di kalangan anak-anak yang menerima pelatihan musik secara teratur; terapi musik selama setengan jam sehari dapat memperbaiki fungsi kekebalan tubuh anak-anak; juga bahwa musik dapat meredakan ketegangan, mendorong interaksi sosial, merangsang perkembangan bahasa, dan memperbaiki keterampilan motorik di kalangan anak-anak
3. Pemerolehan Bahasa (Psikoliguistik).
Pada aliran linguistik manapun bahasa selalu dikatakan memiliki tiga komponen : sintakstik, fonologi, dan semantik (Dardjowidjojo, 2003:18). Dari tiga kompenan aliran linguistik tersebut, yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah komponen fonologinya. Yaitu akan memfokuskan pada ujaran-ujaran yang dikeluarkan oleh seorang anak penderita autis. Komponen fonologi bersifat interpretif. Komponen ini menangani ihwal yang berkaitan dengan bunyi. Bunyi merupakan simbol lisan yang dipakai oleh manusia untuk menyampaikan apapun yang ingin disampaikan. (Dardjowidjojo, 2003:20).
Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa dia harus dapat meramu bunyi-bunyi yang dia dengar itu sedemikian rupa sehingga bunyi-bunyi itu membentuk kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam kontek di mana kata-kata itu dipakai. (Dardjowidjojo, 2003:29).
Pada anak normal seperti yang diungkapkan Dardjowidjojo bahwa kepentingan ujaran pada anak bertitik tolak pada sudut pandang anak sehingga macam ujaran yang muncul juga mencerminkan kepentingan anak ini. Anak akan memperhatikan kepentingan dia sendiri sehingga apapun yang menjadi hal utama bagi anak akan didahulukan. Peran kelayakan ujaran juga terarah ke dalam sehingga ujaran untuk meminta sesuatu pasti lebih dahulu dikuasai dari pada macam ujaran yang lain (Dardjowidjojo, 2000:44). Ketika pelajaran bernyanyi sedang berlangsung, maka sesekali anak akan diminta untuk bernyanyi sendiri dengan terlebih dahulu bertanya kepada mereka. Ketika sebuah keinginan anak mulai muncul maka mereka akan merespon dengan baik. Ketika seorang anak memberikan respon, maka respon itu harus disalurkan secepat mungkin.
Mengenai pengembangan kemampuan percakapan, anak juga secara bertahap menguasai aturan-aturan yang ternyata ada dan harus diikuti. Suatu percakapan mempunyai tiga komponen : (1) pembukaan, (2) giliran, (3) penutup. Dalam pembukan harus ada ajakan dan tanggapan. (Dardjowidjojo, 2000:45). Dengan memberikan pelajaran bernyanyi maka diharapkan proses dengan melalui tahapan-tahapan tersebut akan bisa diamati secara seksama.
Moskowitz, Pine, Barton & Tomasello dalam Dardjowidjojo mengungkapkan bahasa yang kita pakai untuk anak mempunyai ciri-ciri khusus (1) kalimatnya pendek-pendek, (2) tidak mengandung kalimat majemuk, (3) nada suara biasanya tinggi, (4) intonasinya agak berlebihan, (5) laju ujaran tidak cepat, (6) banyak redundansi, (7) banyak memakai sapaan. (Dardjowidjojo, 2000:49).
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomuniksi dan berinteraksi antara sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. (Dardjowidjojo, 2003:16). Meskipun anak-anak penderita autis tesebut mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi dan berbahasa, tetapi mereka tetap mempunyai keunikan. Bahkan ada di antara mereka yang menciptakan bahasa mereka sendiri. Kemampuan pemerolehan bahasa adalah sesuatu yang unik untuk manusia. (Dardjowidjojo, 2003:5)
Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: a) komprehensi, yaitu proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud, b) produksi, yakni, proses-proses mental pada diri kita yang membuat kita dapat berujar seperti yang ita ujarkan, c) landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, d) pemerolehan bahasa, yakni, bagaimana anak memperoleh bahasa mereka. (Dardjowidjojo, 2003:7).

4. Analisis Lapangan
Kendala berbahasa/berkomunikasi yang merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh anak-anak penderita autis merupakan faktor utama yang harus mendapatkan perhatian. Proses berbahasa mereka mengalami banyak kendala. Terkadang mereka hanya bisa merasakan dan mengerti apa yang diungkapkan lawan bicara tanpa bisa memberikan respon. Terapi wicara adalah hal utama yang diberikan di klinik/sekolah khusus penderita autis. Terapi wicara adalah terapi yang diberikan kepada anak-anak penderita autis untuk membantu mereka berbicara dan membantu merangsang organ-organ tubuh yang berkaitan dengan proses berbicara. Salah satu teknik terapi wicara adalah dengan kegiaan bernyanyi.
Memberikan pelajaran bernyanyi pada anak-anak merupakan kegiatan yang mengasyikkan, baik oleh pengajar, guru pendamping (orang tua) dan anak-anak itu sendiri. Kegiatan bernyai yang dimaksudkan adalah bernyanyi dengan memilih tema-tema lagu tertentu dibantu dengan musik pengiring dan menari (gerak tubuh). Dengan memberikan sentuhan pendekatan kontektual yaitu belajar sambil mengalami proses. Mereka dilibatkan sepenuhnya dengan bantuan guru pendamping agar mereka mendapat perhatian penuh ketika mengalami proses tersebut. Pelajaran bernyanyi berbeda dengan pelajaran lain, di mana dalam satu ruangan (kelas) diperuntukan bagi seorang murid dengan seorang guru tanpa bergabung dengan murid dan guru yang lain, sedangkan pelajaran bernyanyi adalah gabungan dari seluh anak uang terdri dari 10-15.
Pada awal pertama lagu-lagu ini dikenalkan peran aktif guru utama atau guru pendamping sangat dibutuhkan. Guru utama adalah guru yang memberikan pelajaran bernyanyi. Anak hanya menikmati lagu tersebut dengan gaya ciri khas mereka masing-masing. Kelas bernyanyi membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran dalam mengajarkan lagu-lagu kepada anak-ank penderita autis. Lagu-lagu tersebut akan dinyanyikan berulang-ulang sampai mereka mulai mengikuti dan menikmati lagu tersebut. Hal itu akan terlihat dari ekspresi mereka.
Pelajaran bernyanyi ini tidak terlepas dari musik pengiring (gitar, keyboard) dan gerak. Komponen tersebut tidak bisa dipisahkan dalam memberikan pelajaran bernyanyi kepada anak. Sebelum mereka diarahkan kepada kata-kata yang ada dalam lirik lagu, mereka diberikan arahan dengan musik pembuka (intro lagu). Ketika mereka mencoba untuk menyanyikan lagu akan lebih baik kalau dibantu dengan gerakan yang sesuai/mendukung lirik dalam lagu tersebut.
Dalam penelitian ini telah diuji cobakan beberapa lagu anatara lain topi saya bundar, balonku ada lima, cicak-cicak di dinding, dua mata saya, dan dua lagu berbahasa Inggris yaitu C-O-C-O-N-U-T dan good morning. Dari ketujuh lagu yang diberikan tersebut, masing-masing mempunyai karakter dan kesukaran terendiri.
Dalam pelajaran bernyanyi ini ada dua tahap yang diberikan yaitu bernyanyi bersama, dan bernyanyi secara individu. Dalam makalah ini akan diberikan beberapa contoh lagu.
Cicak-cicak di Dinding

Cicak-cicak di dinding
Diam-diam merayap
Datang seekor nyamuk
Hap, lalu ditangkap
Lagu Cicak-cicak di Dinding ini termasuk lagu yang disenangi anak-anak penderita autis. Kegiatan bernyanyi ini akan dimulai dengan bernyanyi bersama-sama. Pada langkah awal peran serta guru pendamping sangat dominan. Menyanyikan lagu ini harus dengan suara lantang dan artikulasi yang jelas, ditambah dengan penekanan-penekanan pada kata tertentu. Biasanya penekanan tersebut pada suku kata terakhir pada setiap baitnya. Selain itu juga dibutuh espresi-ekspresi atau gerakan-gerakan tertentu yang membantu anak untuk mendapatkan kesan mereka tersendiri terhadap lagu ini. Terkadang guru pendamping juga harus memandu anak untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu yang sesuai dengan kata-kata dalam lagu. Meski tidak setiap kata yang bisa diiringi atau dilambangkan dengan gerakan.
Setelah mengulang lagu beberapa kali peran serta guru pendamping mulai berkurang, dimulai dengan mengurangi volume suara kemudian berangsur-angsur mengurangi kata-kata dalam lagu.
Pada lagu ini ujaran pertama yang keluar dari mulut mereka (rata-rata) adalah “hap”. Ketika guru menyebutkan “datang seekor nyamuk…hap…lalu ditangkap”. Hampir separuh dari mereka mengucapkan “hap”
Setelah beberapa kali (minggu) lagu tersebut dinyanyikan mereka mulai mengikuti lirik tetapi baru sebatas suku akhir dari lagu tersebut. Misalnya “ding” setelah “Cicak-cicak di din… (ding)”. “Yap” setelah “Diam-diam mera … (yap,)”. “Muk, hap” setelah “Datang seekor nya … (muk, hap). “Kap” setelah “lalu ditang … (kap)”.
Proses selanjutnya adalah mereka mulai mengikuti suku kata terakhir dari setiap kata yang ada dalam lirik lagu tersebut.
Ci cak-ci cak di din ding
Di yam-di yam mera yap
Da tang see kor nya muk
Hap, la lu ditang kap
(Suku kata yang dicetak tebal dan miring adalah kata-kata yang diucapkan anak).
Setiap tahap dalam proses tersebut selalu diberikan kesempatan kepada anak untuk bernyanyi secara individu/perorangan. Mereka diposisikan ditengah lingkaran atau di depan kelas, tergantung formasi yang diterapkan. Formasi ini akan sangat menentukan kemauan anak dalam bernyanyi secara individu. Ketika seorang anak sedang tidak menyenangi guru utama, maka ia akan membelakangi guru tersebut dan menghadap kepada teman-temannya yang berbaris berbanjar. Ketika seorang anak malu dengan dengan temannya, maka guru utama harus memberikan perhatian khusus dengan posisi berhadap-hadapan seolah-olah tidak ada orang lain yang memperhatikannya. Dalam situasi tertentu membentuk lingkaran akan sangat berguna bagi mereka untuk melakukan kontak mata baik dengan para guru atau dengan sesama temannya.
Seperti halnya dengan tahap benyanyi bersama, mereka juga mengalami proses tersebut ketika bernyanyi perorangan. Bahkan ada diantara mereka yang hanya mengeluarkan bunyi seperti orang bersenandung (Hm…hm… atau na… na…) tetapi mereka tetap dalam titinada lagu tersebut.
Dalam hal ini mereka mencoba menggabungkan pengalaman mereka dalam bernyanyi (bermain) bersama kemudian mencobanya untuk bernyanyi senditi. Ketika mereka mencoba mengucapkan bunyi-bunyi tersebut mereka secara spontan melakukan bahasa tubuh/gerakan tubuh. Untuk lagu ini gerakan hanya pada kata “hap” sambil melompat dengan tangan terbuka ke depan kemudian mengepalkan seperti sedang menangkap sesuatu.
Prosses yang sama juga terjadi ketika menyanyikan lagu balon ku ada lima.
Balonku Ada Lima
Balonku ada lima
Rupa-rupa warnanya
Hijau kuning kelabu
Merah muda dan biru
Meletus balon hijau
Dor, hati ku sangat kacau
Balonku tinggal empat
Ku pegang erat-erat.

Ujaran pertama yang keluar adalah “dor”. Selanjutnya mengalami proses yang sama seperti lagu Ciak-cicak di Dinding. Hanya saja berbeda dalam gerak tubuh. Ketika menyatakan lima mereka mengacungkan jari lima (satu tangan dengan telapak tangan terbuka), lalu ketika dor, mereka melompat sambil menutup telinga atau ada juga yang melompat sambil mengepalkan kedua tangan ke atas lalumembuka telapak tangan. Kemudian pada kata empat mereka mengajungkan jari empat, ada yang hanya dengan satu tangan dengan jari jempol ditekuk kedalam dan ada yang melakukannya dengan dua tangan dengan posisi jari yang sama. Meskipun gerak tubuh ini tidak termasuk dalam sumber data tetapi sangat membantu ujaran mereka. Karena kebahagian seorang anak adalah dengan benyanyi, menari, bertepuk tangan dan berteriak apalagi dilakukan secara bersama-sama.
Lain halnya ketika menyanyikan lagu Topi Saya Bundar, pengalaman menyanyikan lagu ini sangat berbeda dengan lagu yang telah dibahas.
Topi Saya Bundar
Topi saya bundar
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Bukan topi saya

Lagu ini lebih mudah untuk dipahami oleh anak-anak penderita autis dalam perolehan kata sekaligus makna kata. Lagu ini diberikan sebagai kelanjutan dari dua lagu yang terdahulu. Lirik lagu ini lebih membantu perkembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik mereka, karena hampir seluruh kata-katanya mempunyai gerakan. Dengan lagu ini aspek pertumbuhan bahasa verbal maupun nonverbal pada mereka dapat berkembang lebih baik dan merangsang keterampilan mendengar yang mengantarkan kemampuan berekspresi yang lebih baik dan akan terjalin erat dengan tubuh dan indera mereka. Proses ujaran mereka hampir sama dengan dua lagu pertama.
(Topi) gerakan seperti memegang sesuatu (topi) di kepala. (Saya) meletakkan kedua telapak tangan kedada sebagai ungakapan saya. (Bundar) mereka melakukan gerakan melingkarkan tangan di depan kepala . Kemudian melakukan gerakan yang sama dengan susunan yang berbeda untuk bait berikutnya “Bundar topi saya”. (Kalau tidak) melambaikan tangan dan menggelengkan kepala seperti mengisyaratkan tidak. (Bundar) kembali melakukan gerakan melingkarkan tangan di depan kepala. (Bukan) mengulang gerakan melambaikan tangan dan menggelengkan kepala seperti mengisyaratkan tidak. (Topi saya) melakukan kembali gerakan mengulang.
Selain dengan lagu berbahasa Indonesia, kegiatan bernyanyi ini juga sengaja memilihkan beberapa lagu berbahasa Inggris. Meskipun untuk berbahasa Indonesia mereka mengalami kesulitan, tetapi untuk kebutuhan penelitian diberikan juga lagu berbahasa Inggris dan unutk memberikan fariasi.
COCONUT
C-O-C-O-N-U-T N-U-T N-U-T
C-O-C-O-N-U-T N-U-T

Lagu ini hanya menyebutan lima macam huruf yang berbeda yaitu C (si) O (ou) N (en) U (yu) T (ti). Semua huruf terdiri dari satu suku kata. Anak-anak penderita utis lebih cepat memahami lagu ini karena semua huruf terdiri dari satu suku kata. Selain itu, sama seperti lagu Topi Saya Bundar, setiap huruf dalam lagu ini mempunyai gerakan. Gerakan tersebut seperti gerakan senam. C, anak-anak dengan bantuan guru akan membuat huruf seperti huruf C, dan seterusnya (akan diperagakan).
Lagu berbahasa Inggris kedua yang diujikan adalah lagu Good Morning.

Good Morning
Good morning, good morning
To you to you and to you.
Good morning, good morning
To you and to you
Amin, Agung and Ery
Rita, Yuli you and you
Good morning, good morning
To you and to you

Sama seperti lagu-lagu dalam pembahasan terdahulu, lagu ini akan membantu dalam proses pemerolehan kosa kata pada anak. Pada lagu ini ada beberapa orang nama yang disebutkan. Nama-nama itu bisa disesuaikan/diganti sesuai dengan kebutuhan. Pada lagu ini sebenarnya tidak ada gerakan, tetapi membantu dalam mengenali nama-nama teman-teman mereka.
Dari lagu-lagu dengan dua versi bahasa yang berbeda ternyata pada anak-anak penderita autis memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam memahaminya. Anak-anak penderita autis adalah anak yang mengalami kesulitan dalam berbicara, sehingga hampir keseluruhan kosa kata yang diberikan dalam dua bahasa yang berbeda adalah kosa kata yang baru/asing bagi mereka.
Ketika proses pengenalan kata berlangsung lewat pelajaran bernyanyi, kecendrungan anak-anak ini adalah lebih menurutkan emosi mereka. Terkadang mereka memilih ujaran-ujran yang tidak bisa diperkirakan dengan kesimpulan umum. Terkadang mereka mengucapkan dengan tekanan suara/intonasi yang lebih keras, kadang intonasi yang lebih panjang.
Ada kecendurungan yang sangat positif, bahwa ternyata anak-anak ini tidak hanya memahami lagu tetapi juga memahami titinada yang ada. Mereka bisa memngetahui lagu yang akan dinyanyikan melalui intro lagu, dan mereka juga memahami kapan harus memulai untuk bernyanyi.
Kelemahan yang terjadi adalah bahwa anak-anak penderita autime pada waktu tertentu mereka bisa menghafalkan lagu dan gerakannya, tetapi tidak semua makna dari kata yang diucapkannya dapat dipahami sebaik mereka mengucapkannya.

6. Penutup
Pemerolehan bahasa pada anak-anak penderita autis sangat berbeda dengan pemerolehan bahasa pada anak-anak normal. Anak-anak normal biasanya secara alami dan melalui lingkungan akan mengalami proses pemerolehan bahasa yang tidak rumit. Artiya mereka mendapatkan kosa kata mereka secara alami/normal degan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sementara itu anak-anak penderita autis mengalami kesulitan yang sekaligus merupakan suatu kendala yang datang dari dalam diri mereka sendiri. Ada sedikit persamaan dalam proses pemerolehan bahasa antara anak-anak normal dengan anak-anak penderita autis, hanya saja pada anak-anak normal mereka telah memulai pemerolehan ujaran pertama mereka pada usia yang bulanan. Sementara itu pada anak-anak penderita autism proses itu baru mulai setelah usia mereka mencapai setahun atau lebih, bergantung dengan sedini apa kelainan mereka diketahui oleh orang tuanya.
Dengan memfokuskan kelas pada kegiatan siswa maka pelajaran bernyanyi dapat mempeloleh hasil yang optimal. Pendekatan kontekstual mengantarkan anak belajar melalui pengalaman mereka dalam prosses belajar. Guru hanya mendampingi mereka sesuai dengan tahapan kebutuhan anak.

__________

Daftar Pustaka.

Campbell, Don. 2002. Efek Mozart bagi Anak-anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. (Diindonesiakan oleh Alex Tri Kantjono Widodo)

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.

_____________. 2003. Psikolinguistik. Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Handojo,Y.2006. Autisma. Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Mengajar Anak Normal, Autis, dan Prilaku lain. Jakarta, Bhuana Ilmu Populer.

Putra Kembara .2006. Seputar Autisma. Jakarta. peduliautis@putrakembara.org


… 2000. Menciptakan Kelas yang Berpusat pada Anak . Jakarta. Children’s Resources International. Inc. ( Alih Bahasa : Kenny Dewi Juwita, dkk.)